Hikmah Ketabahan
Sesudah diusir dari Surga lantaran membangkangnya, Iblis memohon kepada Tuhan, “Wahai, Yang Mahatau. Engkau telah melaknat diriku, dan kini aku terlunta-lunta dalam dosa. Kau gebah aku menjadi setan yang terlontar dan tercela, sedangkan Adam Kau angkat sebagai khalifah Engkau di Bumi. Bukan itu saja, Kau utus pulapara Rasul Engkau dengan membawa kitab suci masing-masing, untuk membimbing dan menyelamatkan anak cucunya dari rayuanku. Kini aku bertanya, siapakah utusanku?”
Tuhan menjawab, “Utusanmu adalah tukang sihir.”
“Manakah Kitabku?”
“Kitabmu adalah dongeng yang memuja berhala.”
“Bagaimana hadisku?”
“Hadismu itu pantun-pantun cengeng dan mantra-mantra.”
“Siapa tukang azanku?”
“Tukang azanmu bunyi-bunyian yang merangsang.”
“Dimana Masjidku?”
“Masjidmu di pasar yang sibuk sehingga gampang menipu.”
“Dimana Rumahku?”
“Di kamar mandi yang bercampur antara laki-laki dan perempuan.”
“Apakah makananku?”
“Yang disantap manusia tanpa bismillah, itulah makananmu.”
“Apa minumanku?”
“Segala jenis yang memabukkan.”
“Dengan apa perangkapku?”
“Perempuan cantik yang gelisah.”
Maka ketika kita menutup kitab Al-Arais susunan Syekh Abi Ishak itu, kitapun tercenung memikirkannya. Andaikan benar yang dikatakan Nabi SAW. Dalam hadis Ahad tadi – tentu saja kalau sahih, kemungkinan besar benar – alangkah lengkapnya sarana Iblis untuk menantang keimanan manusia. Apakah dengan demikian berarti Tuhan suka mengadu domba manusia dengan setan, mengadu domba kebenaran dengan kebatilan, pahala dengan dosa, dan ketaatan dengan maksiat?
Kalau kita berpijak dari yang tertulis, mau tidak mau kita jawab “Ya.” Sama dengan tatkala seorang murid bertanya kepada gurunya, “Tuhan itu tunggal, sendiri. Mengapa Ia ciptakan alam, manusia, dan mahluk lainnya? Bukankah karena itu Ia harus repot mengadili manusia, disamping sibuk mengirimkan para utusan-Nya untuk memberi petunjuk kepada yang sesat? Coba Tuhan tetap sendiri tanpa ciptaan-Nya, bukankah Ia tenang dan tentram?”
Sang guru menjawab, “Karena yang kautanyakan mengapa Tuhan berbuat begitu, mampukah aku menjawabnya, padahal aku bukan Tuhan? Dan lantaran aku bukan Tuhan, lebih baik aku berpikir tentang ciptaan-Nya bukan Penciptaannya.
Sudah pasti si murid tidak puas. Akan tetapi, bilakah manusia pernah mencapai titik puasnya? Mustahil. Sebab kita didukung oleh keserbaterbatasan. Maka deri itu seorang sufi, Ahmad Al-Barkawi, pernah mengatakan, “Kebenaran itu tidak bertengger diam dipuncak bukit, yang bisa didaki dan dimiliki secara pasti. Kebenaran justru terletak dalam pencarian.” Namun, karena manusia terlalu fana untuk sampai pada ujung pencariannya, maka Al-Barkawi menyatakan, “Akhirnya kebenaran itu berada dalam iman sebab kebenaran yang mutlak hanya ditangan Allah SWT.”
Misalnya perbedaan paham antara Imam Syafii dan Iman Hanafi mengenai persentuhan kulit dengan wanita, apakah membatalkan wudhu atau tidak. Menurut Imam Syafii, batal. Menurut Imam Hanafi, tidak. Padahal dalil yang dijadikan sandaran sama, padahal kata lamastumu dalam surah An-Nisa ayat 43. Sedangkan wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Jika batal wudhunya, batal pula shalatnya. Dari Tuhan, ayat itu benar mutlak. Pada manusia, muncullah dua “kebenaran” yang berlawanan. Di situlah manusia harus memilih, kemana hendak berkiblat. Dan di situ pula pentingnya “percaya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar