Seorang Muslim Yang Berilmu
Diantara hikmah ilahi, Allah -Subhanahu wa Ta’la- menciptakan kegelapan sebagai waktu untuk beristirahat bagi makhluk hidup dan untuk mendinginkan suhu udara bagi tubuh makhluk hidup dan tumbuh-tumbuhan. Allah tidak membiarkan malam gelap dan kelam tanpa ada cahaya sedikitpun, sehingga makhluk hidup tidak dapat bergerak dan beraktifitas. Itu merupakan konsekuensi hikmah Allah-Azza Wa Jalla-; Dia menerangi malam dengan sedikit cahaya. Berhubung makhluk hidup kadangkala butuh bergerak, berjalan dan melakukan pekerjaan pada malam hari yang tidak dapat dilakukan pada siang hari, karena sempitnya waktu siang, ataukah karena panasnya yang sangat, ataukah karena takut keluar pada siang hari sebagaimana halnya kebanyakan hewan-hewan. Lantaran itu, Allah -Subhanahu wa Ta’la-mengerahkan tentara-tentara cahaya untuk membantu makhluk hidup di kegelapan malam. Allah menyediakan bulan dan bintang pada malam hari, sehingga makhluk hidup dapat melakukan banyak pekerjaan, misalnya bersafar, bercocok tanam atau pekerjaan lainnya yang biasa dilakukan oleh para petani.
Cobalah perhatikan cahaya rembulan di kegelapan malam dan cobalah
renungi hikmah yang tersembunyi di balik itu. Allah menciptakan cahaya
bulan tidak seterang cahaya matahari agar tampak perbedaan antara siang
dan malam. Sebab jika sama terangnya, maka akan luputlah hikmah
pergantian siang dan malam yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha
Perkasa lagi Maha Mengetahui. Cobalah perhatikan hikmah yang Allah
ciptakan pada bintang-bintang yang bertaburan di langit dan keajaiban
penciptaannya. Bintang-bintang itu menghiasi gelapnya malam sehingga
menambah kecantikan langit di malam hari dan laksana kompas bagi manusia
dalam menentukan arah jalan yang tidak ia ketahui di darat dan di
lautan. Maha Suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu dengan
sebaik-baiknya.
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan
langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia
menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan
(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang
(masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan
memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam”. (QS. Al-A’raf:54 )
Pembaca yang mulia, Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah menjadikan kedua makhluk ini sebagai perandaian dan perumpamaan yang indah, tatkala Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
وَ فَضْلُ اْلعَالِمِ عَلَى اْلعَابِدِ كَفَضْلِ اْلقَمَرِ عَلَى سَائِرُ اْلكَوَاكِبِ, إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ, إِنَّ اْْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا, إِنَّمَا وَرَّثُوْا اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهَ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Keutamaan orang yang berilmu dibanding dengan ahli ibadah, seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang.
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para
nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan
ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil
keberuntungan yang banyak.” [HR.Abu Dawud (3641), At-Tirmidzi(2682)].
Mungkin akan timbul pertanyaan di benak kita, mengapa Rasulullah –Shallallahu alaihi wa sallam– mempermisalkan orang yang berilmu dengan bulan purnama, sedangkan ahli ibadah dengan bintang-bintang? Oleh karenanya, marilah kita menyimak penjelasan dari para ulama kita.
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali-hafizhohullah- berkata dalam menjelaskan hadits ini:”Dipermisalkan
keutamaan orang alim dengan ahli ibadah seperti keutamaaan bulan
purnama atas seluruh bintang merupakan permisalan yang sesuai dengan
kondisi bulan purnama dengan bintang-bintang. Sebab bulan purnama
menerangi ufuk dan memancarkan cahayanya ke seluruh penjuru alam.
Demikianlah keadaannya orang yang alim. Adapun bintang-bintang, maka
cahayanya tidak melampaui dirinya sendiri atau sesuatu yang dekat
dengannya. Ini adalah kondisinya ahli ibadah. Cahaya ibadahnya hanya
mampu menerangi dirinya, tanpa selain dirinya. Kalaupun cahaya ibadahnya
mampu menerangi selainnya, maka jangkauan cahayanya tidaklah jauh
sebagaimana terangnya bintang yang hanya sedikit”. [Lihat Bahjatun Nazhirin Syarhu Riyadhus Shoolihin (2 /472)]
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah –rahimahullah– berkata, “Di
dalam perumpamaan tersebut terdapat mutiara yang lain, yaitu bahwa
kejahilan laksana malam dalam kegelapannya. Para ulama dan ahli ibadah
seperti kedudukan bulan dan bintang-bintang yang terbit dalam kegelapan
itu. Keutamaan cahaya seorang yang berilmu dalam kegelapan itu
dibandingkan cahaya seorang yang ahli ibadah seperti keutamaan cahaya
bulan dibandingkan bintang-bintang”.[Lihat Miftah Dar As-Sa’adah (1/259), tahqiq Ali bin Hasan Al-Atsariy].
Jika kita memperhatikan keadaan bulan purnama, maka kita
menyaksikannya, walaupun dia hanya sendiri, namun sudah cukup untuk
menerangi gelapnya malam. Tetapi, walaupun jumlah bintang
bermilyar-milyaran, namun jumlah yang banyak itu tidak mampu menerangi
malam. Hal ini disebabkan karena cahaya bintang sangatlah sedikit,
sehingga ia hanya mampu menerangi dirinya sendiri, tanpa yang lainnya.
Al-Qodhi Iyadh –rahimahullah– berkata, “Nabi
-Shallallahu alaihi wa sallam- menyerupakan orang yang berilmu dengan
bulan, ahli ibadah dengan bintang-bintang, karena kesempurnaan ibadah,
dan cahayanya tak akan melampaui diri ahli ibadah tersebut. Sedang
cahaya orang berilmu akan terpancar kepada yang lainnya”. [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (6/481)]
Orang yang berilmu akan menjadi berkah dimanapun ia berada. Ia bisa
mengajari manusia dengan ilmu yang bermanfaat. Sehingga manusiapun bisa
berjalan di muka bumi dengan cahaya ilmu yang akan menuntun mereka dalam
gelapnya alam kejahilan. Seluruh manusia akan mengambil manfaat
darinya, baik yang jauh maupun yang dekat, yang besar maupun yang kecil
sebagaimana para makhluk dapat mengambil manfaat dari cahaya bulan
purnama baik yang jauh maupun yang dekat. Bahkan hewan-hewan yang melata
di muka bumi serta ikan- ikan yang berada di dasar lautan merasakan
manfaatnya sehingga merekapun memintakan ampunan bagi orang-orang yang
berilmu. Hal ini sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-,
وَ إِنَّ اْلعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِيْ السَّمَاوَاتِ وَ مَنْ فِيْ الأَرْضِ حَتَّى اْلحِيْتَانِ فِيْ المَاءِ
“ Sesungguhnya orang yang berilmu akan dimintakan
ampunan oleh para makhluk yang berada di langit dan di bumi bahkan
sampai ikan-ikan besar yang berada di dasar lautan ” [HR. Abu Dawud (3641) dan At-Tirmidzi (3682)].
Abu Sulaiman Al-Khoththobiy –rahimahullah– berkata, “Sesungguhnya
Allah –Subhanahu- telah menetapkan ilmu tentang ikan-ikan dan selainnya
diantara jenis-jenis hewan melalui lisan para ulama, yaitu ilmu tentang
jenis-jenis manfaat dan kemaslahatan serta rezqi-rezqi. Merekalah
(yaitu para ulama) yang menjelaskan hukum tentang sesuatu yang halal dan
haram dari hewan-hewan itu; mereka memberikan bimbingan kepada
kemaslahatan dalam permasalahan ikan-ikan dan hewan-hewan. Mereka
mewasiatkan untuk berbuat baik kepada hewan-hewan tersebut, dan
menghilangkan madhorot (kerusakan) darinya. Lantaran itu, Allah
mengilhamkan kepada hewan-hewan itu untuk memintakan ampunan bagi para
ulama (orang-orang berilmu) sebagai balasan atas kebaikan perbuatan dan
kasih sayang mereka terhadap hewan-hewan”. [Lihat Aunul Ma’bud (8/137) karya Syamsul Haqq Al-Azhim Abadiy]
Para pembaca yang budiman, Iniliah keutamaan ilmu. Namun perlu diketahui, ketika kita mendapatkan kata “ilmu” ( الْعِلْمُ
) di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, maka yang dimaksud adalah ilmu
agama . Yaitu ilmu tentang syari’at Allah yang diturunkan kepada
Rasul-Nya -Shollallahu alaihi wa sallam- berupa wahyu yang menjadi keterangan dan petunjuk. Telah dimaklumi bahwa para Nabi -alaihi salaam–
tidaklah mewariskan kepada umatnya ilmu perekonomian dan perindustrian
atau yang berhubungan dengannya. Namun, yang mereka wariskan hanyalah
ilmu syari’at alias ilmu wahyu, bukan yang lainnya!! [Lihat Kitab Al-Ilm (hal. 9) karya Syaikh Al-Utsaimin, cet. Dar Al-Itqon, Mesir]
Namun bukan berarti mempelajari ilmu selain agama tidaklah penting.
Sebab tidak bisa dipungkiri bahwa ilmu-ilmu tersebut memiliki manfaat
yang bisa kita rasakan. Akan tetapi, ilmu-ilmu tersebut pemanfaatannya
memiliki dua sisi. Jika ilmu-ilmu tersebut digunakan untuk bermaksiat
dan membuat kerusakan di muka bumi, maka ia akan menjadi suatu hal yang
tercela. Namun Jika digunakan untuk menopang ketaatan kepada Allah dan
untuk menolong agama-Nya serta manusia pun dapat mengambil manfaat dari
ilmu-ilmu tersebut, maka ilmu-ilmu tersebut merupakan suatu kebaikan dan
kemaslahatan. Bahkan bisa menjadi wajib mempelajarinya dalam keadaan
tertentu, apabila perkara itu masuk dalam firman Allah -Azza wa Jalla-
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang”. (QS. Al-Anfal: 60).
Akan tetapi, kondisi kaum muslimin pada hari ini sangat
memprihatinkan. Mereka berlomba-lomba mengejar ilmu dunia dan lari
meninggalkan ilmu agamanya. Bahkan yang lebih mencengangkan lagi, ketika mereka menganggap bahwa mempelajari ilmu agama adalah sebuah kemunduran.
Setan menghias-hiasi di mata mereka bahwa ilmu-ilmu dunia merupakan
jalan menuju kesejahteraan hidup dan kebahagiaan. Sedangkan mempelajari
ilmu agama Allah akan membuat hidup sengsara, miskin dan tidak memiliki
masa depan. Hal ini bisa kita lihat di sekitar kita. Para orang tua sekarang merasa malu jika ia memasukkan anak-anaknya untuk belajar di pondok-pondok pesantren. Sebaliknya,amat
bangga jika menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah terkenal yang
tidak punya perhatian dengan agama, walaupun harus membayar mahal.
Mereka berusaha dengan keras agar anaknya bisa masuk ke sekolah
tersebut, walaupun harus gali lobang, tutup lobang dan makan apa adanya.
Tetapi ketika anak-anaknya menjadi brandalan dan sampah masyarakat,
serta bodohnya minta ampun, maka merekapun mulai mencari pondok-pondok
pesantren terdekat untuk anak brandal mereka. Ibaratnya pesantren adalah
bengkel bagi barang rongsokan yang tidak lagi bisa dimanfaatkan.
Wahai kaum muslimin, apakah ini sumbangsih kalian kepada islam!!!
Pada hari ini, Islam juga butuh dengan otak-otak yang jenius.
Pesantren-pesantren juga butuh dengan anak-anak yang cerdas sehingga
dapat melahirkan ulama-ulama seperti Al-Imam Malik, Al-Imam
Asy-Syafi’iy, dan Ahmad -rahimahullah– .
Maka jadilah kaum muslimin pada hari ini sangat berambisi mengejar
dunia, tanpa mengenal lagi aturan-aturan Allah Yang Maha Bijaksana.
Mereka tidak peduli lagi dengan halal dan haram, yang penting kebutuhan
terpenuhi. Sehingga Allah menimpakan kehinaan kepada kaum muslimin pada
hari ini. Rasulullah -Sholllallahu alaihi wa sallam- bersabda,
إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِيْنَةِ وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ وَرَضِيْتُمْ بِالزَّرْعِ وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ سَلَّطَ اللهُ عَلَيْكُمْ ذُلاًّ لاَيَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوْا إِلَى دِيْنِكُمْ
“Jika kalian berjual beli dengan cara ‘inah, memegang ekor-ekor
sapi (sibuk ternak), ridho dengan bercocok tanam (sibuk tani), dan
kalian meninggalkan jihad, maka Allah akan menguasakan kehinaan atas diri kalian; tak akan dicabut oleh Allah sampai kalian kembali kepada agama kalian”. [HR. Abu Dawud dalam Kitabul Ijaroh (3462). Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (11)]
Allah –Azza wa Jalla-juga berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (QS. At-Tahriim: 6)
Lalu bagaimanakah cara kita untuk melindungi diri dan keluarga kita
dari api neraka jika kita tidak memiliki ilmu agama!?! Kita tidak
mengetahui mana yang halal dan yang haram. Oleh karenanya, kita harus
segera menyadari sebelum semuanya terlambat bahwa tidak ada jalan menuju
kebahagiaan yang hakiki kecuali harus kembali mempelajari agama yang
mulia ini. Bukan berarti semua orang harus menjadi ulama atau ustadz,
sebab kaum muslimin juga butuh kepada polisi, montir, dokter, dan yang
lainnya. Akan tetapi yang kami maksudkan adalah setiap muslim memahami
dengan benar prinsip-prinsip agamanya yang berasal dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi -Sholllallahu alaihi wa sallam-
. Sebab, seseorang yang memiliki ilmu agama akan senantiasa mendapatkan
kebahagiaan, bukan hanya di dunia saja, juga tetapi di alam barzakh dan
di akhirat kelak. Rasulullah –Sholllallahu alaihi wa sallam– bersabda,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقاً يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقاً إِلَى اْلجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga”. [HR. muslim(2699)].
Sumber : Buletin Jum’at At-Tauhid edisi 116
Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Jl. Bonto Te’ne No.
58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512
(a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu
Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah
Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Dzikro. Untuk
berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq
Rp. 200,-/exp)
Oleh redaksi Buletin Jum’at At-Tauhid
http://almakassari.com/artikel-islam/aqidah/laksana-bulan-dan-bintang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar