Istiqamah di Jalan Allah
Teguh hati, istiqamah berada di jalan-Nya merupakan dambaan setiap
insan beriman. Kekhawatiran tergelincir meniti jalan hidup ini,
menyempal dari barisan orang-orang nan kukuh di atas tauhid, menjadikan
diri tak berasa aman. Tumbuh ketakutan akan syirik atau nifak bercokol
pada diri. Betapa tidak. Seorang nabi Allah, Khalilu Ar-Rahman
(kekasih Ar-Rahman) dan imam orang-orang yang hanif (lurus) di
jalan-Nya, Ibrahim q pun tetap memohon kepada Rabbnya agar dijauhkan
dari penyelewengan tauhid. Al-Khalil pun memohon:
“Dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35)
Tumbuh
pada diri Nabi Ibrahim kekhawatiran atas dirinya terjerembab jatuh
pada kesyirikan, padahal dirinya seorang nabi, kekasih Allah, dan
imam al-hunafa’. Maka bagaimana dengan diri kita? Semestinya lebih pantas
lagi kekhawatiran dan ketakutan itu menyembul dalam dada kita. Jangan
merasa aman dari kesyirikan. Jangan pula merasa aman dari nifak. Tidak
ada orang yang merasa aman dari sikap nifak kecuali dia seorang munafik.
Dan tiadalah seorang yang takut bahwa sikap nifak bakal tumbuh bercokol
pada dirinya melainkan dia seorang mukmin. Lantaran ini pula, Ibnu Abi
Mulaikah berkata:
أَدْرَكْتُ ثَلَاثِينَ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ كُلَّهُمْ يَخَافُ النِّفَاقَ عَلَى نَفْسِهِ
“Aku mendapati 30 sahabat Nabi n, seluruhnya merasa takut terhadap nifak yang bakal menimpa dirinya.” (Shahih Al-Bukhari, Kitabul Iman, Bab Khaufil Mu’min min an Yahbatha ‘Amaluhu wa Huwa La Yasy’uru)
Begitu pula dgn seorang sahabat mulia, Umar bin Al-Khaththab. Dirinya
takut sikap nifak itu melekat padanya. Saat Nabi menyebutkan secara
rahasia nama-nama orang munafik kepada Hudzaifah ibnul Yaman, timbul
pada diri Umar kegalauan. Jiwanya merasa tak tenang. Khawatir namanya
termasuk dlm deretan orang-orang munafik yang disebutkan Rasulullah. Maka, untuk mengusir rasa galau di hati, menepis kekhawatiran yang
bersemi, dan menambah ketenangan hati, Umar menanyakan langsung
kepada Hudzaifah ibnul Yaman. Kata Umar: “Wahai Hudzaifah, semoga
Allah memuliakanmu. Apakah Rasulullah menyebutkan namaku kepadamu
bersama nama-nama orang munafik?” Jawab Hudzaifah: “Tidak. Tidak ada
(nama) seorang pun yang terbersihkan setelah (nama)mu.” Apa yang
diperbuat Umar adalah guna menambah ketenangan dirinya. Padahal
sungguh Nabi telah mempersaksikan bahwa dia termasuk sahabat yang
mendapatkan jannah (surga). (Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid,
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, hal. 76, Thariqul
Hijratain, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, hal. 504)
Siapakah yang
bisa menjamin masing-masing diri ini? Sementara orang yang jauh lebih
mulia dan utama merasakan ketidaknyamanan, takut terkotori kesyirikan,
ternodai nifak. Tentu, semestinya masing-masing diri ini harus lebih
terusik lagi perasaan tak aman dan khawatir terpelanting ke dalam lembah
syirik dan nifak. Di tengah zaman, kala banyak manusia terpagut
kemelut hidup, budaya syahwat dan syubuhat setiap saat berkelebat.
Sedangkan tipuan dunia begitu menyilaukan. Karenanya, memohon kepada
Allah agar menetapkan diri ini di atas jalan-Nya adalah sebuah
kemestian. Hati manusia ada di antara dua jari-jemari Ar-Rahman. Dari
Abdullah bin Amr bin Al-Ash, ia pernah mendengar Rasulullah
bersabda:
إِنَّ قُلُوبَ بَنِي آدَمَ كُلَّهَا بَيْنَ إِصْبِعَيْنِ
مِنْ أَصَابِعِ الرَّحْمَنِ كَقَلْبٍ وَاحِدٍ يُصَرِّفُهُ حَيْثُ يَشَاءُ.
ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللهِ اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ، صَرِّفْ
قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ
“Sesungguhnya hati bani Adam seluruhnya
di antara dua jari dari jari-jemari Ar-Rahman. Seperti hati satu orang,
Dia palingkan ke mana Dia kehendaki.” Kemudian Rasulullah bersabda:
“Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, palingkanlah hati kami pada
ketaatan kepada-Mu.” (HR. Muslim, no. 2654)
Maka, hendaklah
seseorang menata diri dgn amal-amal kebaikan guna menyongsong hari
akhirat kelak. Saat manusia dikumpulkan Allah pada hari kiamat,
saat itu manusia diberi cahaya atas dasar amalnya. Al-Imam Al-Baihaqi
telah meriwayatkan dengan sanadnya dari Masruq bin Al-Ajda’, dari Abdullah
bin Mas’ud, dia berkata: “Allah mengumpulkan manusia pada hari
kiamat, lantas mereka diberi cahaya atas kadar amal-amalnya. Di antara
mereka ada yang diberi cahaya semisal gunung antara kedua tangannya. Di
antara mereka ada yang diberi cahaya yang lebih dari itu (dalam riwayat
lain: kurang dari itu). Di antara mereka ada yang diberi cahaya
(semisal) pecahan kurma di tangan kanannya, dan sebagian lain tanpa
hal itu di tangan kanannya. Hingga pada akhirnya ada orang yang diberi
cahaya atas ibu jari kakinya, sekali menyala sekali padam. Apabila
menyala, melajulah kakinya. Apabila padam, dia hanya berdiri. Maka,
manusia pun melintasi ash-shirath (jembatan yang berada di atas neraka
Jahanam). Adapun ash-shirath ini seperti mata pedang. Licin
menggelincirkan. Kemudian dikatakan kepada mereka: ‘Jalanlah kalian dengan
cahaya kalian masing-masing.’ Sebagian mereka melintas bagai melesatnya
meteor. Sebagian lagi melintas seperti angin, sebagian yang lain seperti
kuda. Sebagiannya lagi seperti unta berlari. Dia berjalan atau laju
cepat. Mereka melintasi (ash-shirath) atas dasar amal-amalnya. Hingga
ada yang melintasi ash-shirath tersebut dengan cahaya pada ibu jari
kakinya. Mengupayakan keras (dengan) tangan, (hingga) menggelantung.
Kaki diseret, (hingga jatuh) berjuntai. Berhasillah dirinya menjauhi
neraka. Mereka adalah orang-orang yang berhasil menyeberang dengan selamat.
Mereka berkata: ‘Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) yang telah
menyelamatkan kami darimu (neraka) setelah kami melihatmu (neraka).
Sungguh Allah telah memberi kami sesuatu yang tak diberikan kepada
yang lain.” (Majma’ Az-Zawa’id, Al-Haitsami, no. 18352-18353. Lihat
Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyyah, Ibnu Abil Izzi, 2/632-633)
Demikianlah keadaan hari kiamat. Sebuah potret kehidupan masa mendatang
yang bakal dilalui manusia. Bagi yang memiliki keimanan dalam hati,
gambaran di alam akhirat itu akan melecut utk segera bergegas beramal.
Merajut kebaikan. Menebar keshalihan. Mengumpulkan bekal guna memetik
kenikmatan hidup di kampung akhirat kelak. Berlomba dan senantiasa
terus berlomba, seakan merasakan kematian
sudah di pelupuk mata. Sudah dekat. Sudah tak ada lagi yang harus
dilakukan kecuali beramal dan beramal. Tentunya semua itu didasari
keikhlasan.
Gambaran alam akhirat itu memberi pengaruh bagi orang
yang beriman untuk senantiasa berhias dengan perilaku, tutur kata, dan
sikap mulia. Sebab, dirinya tak hendak menuai petaka di akhirat. Yang
hendak diraih adalah ampunan dari Allah Yang Maha Pengampun dan Maha
Penyayang, serta surga-Nya nan teramat sarat nikmat. Allah berfirman:
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Rabbmu dan kepada surga
yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang
yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang
berbuat kebajikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan
perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah,
lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain daripada Allah? Dan mereka tak meneruskan
perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui. Mereka itu balasannya
ialah ampunan dari Rabb mereka dan surga yang di dalamnya mengalir
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah sebaik-baik
pahala orang-orang yang beramal.” (Ali ‘Imran: 133-136)
Rasulullah telah mengingatkan pula untuk menyegerakan amal. Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
بَادِرُوا بِالْأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ الْمُظْلِمِ
يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا وَيُمْسِي كَافِرًا أَوْ يُمْسِي مُؤْمِنًا
وَيُصْبِحُ كَافِرًا يَبِيْعُ دِيْنَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
“Segeralah beramal (shalih), (sebelum ada) fitnah seperti potongan malam
yang gelap gulita. Seseorang pada pagi hari mukmin, sore hari kafir.
Atau sore hari beriman, pagi harinya kafir. Dia menjual agamanya dgn
harta kekayaan dunia.” (HR. Muslim, no. 186)
Adapun setelah
kehidupan alam dunia ini, seseorang akan memasuki alam barzakh. Menurut
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, al-barzakh (الْبَرْزَخُ)
berarti pembatas antara dua sesuatu. Yang dimaksud di sini adalah
sesuatu antara kematian manusia hingga hari kiamat tiba. Terkait pada
penamaan al-qubur (alam kubur), ini dilihat dari sisi kekhususan atas
hal yang bersifat umum. Karena, sesungguhnya alam barzakh itu lebih umum
daripada alam kubur. Seseorang meninggal dunia, lantas dimangsa
binatang buas, apakah dia berada di kubur? Tidak. Akan tetapi dia berada
di alam barzakh. Setiap orang yang mati, dia masuk alam barzakh. Setiap
manusia yang dikubur maka dia berada dlm alam barzakh. (Syarh Al-Aqidah
As-Safariniyyah, hal. 329)'
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin
Abdillah Al-Fauzan hafizhahullah menyatakan bahwa beriman kepada hari
akhir yaitu mengimani setiap apa yang telah dikabarkan Nabi, meliputi
apa saja yang terjadi pascakematian. Termasuk dalam hal ini mengimani
adanya fitnah kubur: adanya azab dan nikmat kubur. Demikian itu,
sesungguhnya antara kematian, yang berarti berakhirnya kehidupan
pertama, dan antara kebangkitan, yang berarti bermulanya kehidupan
kedua. Dengan ungkapan lain, antara kiamat shughra (kecil) dan kiamat
kubra (besar). Masa fatrah (jeda) di antara keduanya disebut dalam
Al-Qur’an Al-Karim dengan sebutan barzakh.
Allah berfirman:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Rabbku
kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang shalih terhadap
yang telah aku tinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding
sampai hari mereka dibangkitkan.” (Al-Mu’minun: 99-100)
Barzakh
secara bahasa yaitu pembatas antara dua sesuatu. Barzakh ini merupakan
permisalan dari pembalasan ukhrawi. Yaitu, tempat pertama dari
tempat-tempat yang ada dalam akhirat. Di dalam barzakh terdapat pertanyaan
dua malaikat, kemudian disusul adanya azab dan nikmat. (Al-Irsyad ila
Shahihil I’tiqad wa Ar-Raddu ‘ala Ahli Asy-Syirki wal Ilhad, hal. 280)
Selanjutnya,
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan hafizhahullah dalam kitab di atas (hal. 290)
mengungkapkan bahwa azab (atau nikmat, ed.) kubur dan pertanyaan dua
malaikat akan terjadi pada setiap yang mati. Walaupun yang meninggal
dunia itu tak dikubur. Ketahuilah, bahwa azab kubur adalah azab barzakh.
Setiap manusia yang meninggal dunia, dan dia berhak utk terkena azab,
dlm keadaan mayit tersebut dikubur ataupun tidak, atau dlm keadaan
dimakan binatang buas, atau terbakar hingga menjadi abu lalu dihamburkan
ke udara, atau disalib, atau tenggelam di laut, niscaya azab itu akan
mengena pada ruh dan badannya.
Apakah fitnah barzakh itu? Yaitu
suatu keadaan yang menimpa satu mayit kala diri telah dikebumikan.
Sesungguhnya, dirinya akan didatangi dua malaikat. Keduanya duduk dan
bertanya kepadanya tentang Rabb, agama dan nabinya. Maka, Allah akan
mengokohkan orang-orang beriman dengan perkataan yang teguh. Orang beriman
akan mengatakan: “Rabbku Allah, agamaku Islam, dan nabiku Muhammad.”
Kemudian ada yang menyeru dari langit: “Telah benar hamba-Ku, maka (dia)
dibenarkan.” Dan dia mendengarkannya. Lantas bertambahlah
kegembiraan(nya) karena itu, bahwa kesaksiannya telah ada yang
menyaksikan dari langit dan dia dinyatakan sebagai orang yang benar
(keimanannya). Adapun orang munafik atau yang semisal, dia hanya bisa
menjawab: “Hah, hah, saya tak tahu. Saya mendengar orang-orang
mengatakan sesuatu maka saya pun (ikut-ikutan) mengatakannya.” Maka
berserulah yang dari langit: “Sungguh hamba-Ku telah berdusta.
Sesungguhnya ia mengetahui bahwa tak ada ilah yang berhak diibadahi
kecuali hanya Allah. Sungguh pula dia mengetahui bahwa Muhammad adalah
rasul Allah. Dia pun tahu tetapi dia membangkang dan berbuat dosa.”
Karenanya, dikatakan kepadanya: “Hamba-Ku pendusta.” Kemudian, kepada
orang yang pertama, diluaskan dalam kuburnya. Dibukakan pintu surga
baginya. Lantas datang amal shalihnya dan duduk di sisinya dlm keadaan
bagus. Adapun kepada orang kedua, wal ‘iyadzu billah (kita berlindung
kepada Allah), disempitkan keadaan kuburnya hingga bersilangan tulang
rusuknya, satu dengan lainnya saling masuk lantaran kerasnya himpitan
kubur. Dibukakan baginya pintu neraka. Berembuslah hawa panas neraka dan menghanguskan. Juga datang amal kejelekannya dlm bentuk yang
sejelek-jeleknya, wal ‘iyadzu billah. Maka, dia ditegur atas apa yang
selama ini disia-siakan dan diabaikan begitu saja dalam urusan agama
Allah l. Inilah fitnah barzakh yang wajib diimani. (Syarhul Aqidah
As-Safariniyyah, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin t, hal. 340)
Kaum malahidah (orang-orang yang menyimpang dari agama, kafir) dan
zanadiqah (orang-orang yang pura-pura beriman tapi menyembunyikan
kekufurannya) telah melakukan pengingkaran terhadap adanya azab dan
nikmat kubur. Mereka katakan bahwa mereka telah membongkar kubur dan
tak didapati dlm kubur tersebut malaikat yang menyiksa mayit. Dalam
kubur itu tak ada kehidupan. Tak ada (air) yang mengalir. Tak ada api
yang menyala-nyala. Bagaimana mungkin dlm kubur itu bisa diluaskan
sejauh mata memandang dan disempitkan? Justru mereka dapati keadaan
kubur itu luasnya sama saat mereka gali, tak ada penambahan dan
pengurangan. Bagaimana pula kubur itu dijadikan taman dari taman-taman
surga dan lubang dari lubang-lubang neraka?
Kata Asy-Syaikh Shalih
bin Fauzan hafizhahullah menjawab pertanyaan di atas, sesungguhnya
keadaan alam barzakh termasuk masalah-masalah ghaib, yang para nabi
telah mengabarkan hal itu. Kabar-kabar yang dibawa para nabi tersebut
tak bisa ditempatkan dalam kerangka berpikir akal (yang amat sangat
memiliki keterbatasan). Karenanya, kabar-kabar yang dibawa para nabi
tersebut harus dibenarkan (diimani, walau akal belum bisa atau bahkan
tak bisa menerimanya). Selanjutnya, sesungguhnya api dan suasana yang
hijau dalam kubur tidaklah sama dengan api dan keadaan hasil pertanian di
dunia. Sesungguhnya, api dan keadaan yang menghijau tersebut merupakan
bagian kehidupan alam akhirat. Panas api pun jauh berbeda, jauh lebih
panas dari api dunia. Maka, tak akan bisa penghuni dunia merasakan (apa
yang ada di alam kubur). Kekuasaan Allah sangat amat luas, menakjubkan dan agung. Jika Allah menghendaki untuk menampakkan azab kubur
kepada sebagian hamba, niscaya hal itu akan terlihat. (Namun) jika
hamba-hamba-Nya telah bisa melihat perkara-perkara yang bersifat ghaib
semuanya, maka hilanglah hikmah taklif (pembebanan syariat) dan
keyakinan utk mengimani hal-hal yang ghaib. (Al-Irsyad ila Shahihil
I’tiqad, hal. 292)
Berkenaan azab kubur dimunculkan kepada
hamba-hamba-Nya, menurut penjelasan Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin, bahwa hukum asalnya tidak. Prinsip asalnya tak mungkin.
Sungguh Nabi telah bersabda:
لَوْلَا أَنْ تَدَافَنُوا لَدَعَوْتُ اللهَ أَنْ يُسْمِعَكُمْ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Kalaulah bukan karena kalian saling menguburkan, pasti aku berdoa
kepada Allah agar azab kubur itu diperdengarkan kepada kalian.” (HR.
Muslim no. 2867, dari Zaid bin Tsabit)
Jika demikian, prinsip
asalnya bukan sesuatu yang bisa diketahui. Namun Allah beritahukan
(azab kubur) kepada sebagian manusia, bisa melalui mimpi yang baik, atau
saat seorang hamba itu terjaga. Dalam hal terjaga, sebagaimana Allah
beritahukan kepada Nabi-Nya atas dua orang penghuni kubur yang diazab
lantaran suka mengadu domba (namimah) dan tak bersuci setelah buang
air kecil, sebagaimana diungkapkan dlm hadits Ibnu Abbas (HR.
Al-Bukhari no. 213 dan Muslim no. 292). Jadi, secara hukum asal, azab
kubur adalah sesuatu yang tak bisa diketahui. Akan tetapi Allah bisa
memberitahukan hal itu kepada siapa yang Dia kehendaki dari
hamba-hamba-Nya. (Syarhul Aqidah As-Safariniyyah, hal. 344-345)
Penetapan azab kubur merupakan i’tiqad (keyakinan) Ahlus Sunnah
wal Jamaah. Setiap muslim wajib meyakini adanya nikmat dan azab
kubur, karena hal ini telah dinyatakan dlm Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Allah berfirman:
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman
dengan ucapan yang teguh itu dlm kehidupan di dunia dan di akhirat.”
(Ibrahim: 27)
Dari Al-Bara’ bin Azib, sungguh Rasulullah bersabda:
إِنَّ الْمُسْلِمَ إِذَا سُئِلَ فِي الْقَبْرِ فَشَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ
إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ فَذَلِكَ قَوْلُ اللهِ
تَعَالَى
Sungguh seorang muslim apabila
ditanya di dalam kubur, maka dia melakukan persaksian bahwasanya tak ada
ilah yang berhak disembah kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah
Rasulullah. Maka itulah yang dimaksud firman Allah: “Allah meneguhkan
(iman) orang-orang yang beriman dgn ucapan yang teguh itu dlm kehidupan
di dunia & di akhirat.” (Ibrahim: 27) [HR. Al-Bukhari no. 1369, Abu
Dawud no. 4750. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani. Lihat Itsbat ‘Adzabil Qabri, Asy-Syaikh Al-Hafizh Abu Bakr
Ahmad bin Husain Al-Baihaqi, hal. 9-10)
Rasulullah secara tegas menyatakan bahwa azab kubur adalah benar adanya. Hadits dari Aisyah mengungkapkan hal itu.
أَنَّ يَهُودِيَّةً دَخَلَتْ عَلَيْهَا فَذَكَرَتْ عَذَابَ الْقَبْرِ
فَقَالَتْ لَهَا: أَعَاذَكِ اللهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ. فَسَأَلَتْ
عَائِشَةُ رَسُولَ اللهِ عَنْ عَذَابِ الْقَبْرِ فَقَالَ: نَعَمْ،
عَذَابُ الْقَبْرِ حَقٌّ. قَالَتْ عَائِشَةُ: فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللهِ بَعْدُ صَلَّى صَلَاةً إِلَّا تَعَوَّذَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ
“Sungguh seorang wanita
Yahudi masuk (menemui) Aisyah. Wanita Yahudi itu menyebutkan perihal
azab kubur. Lantas wanita Yahudi itu berkata kepada Aisyah, ‘Semoga
Allah melindungimu dari azab kubur.’ (Setelah peristiwa itu) Aisyah
bertanya kepada Rasulullah perihal azab kubur. Maka Rasulullah
menjawab: ‘Ya. Azab kubur itu benar adanya.’ Aisyah pun menyatakan,
‘Maka, setelah itu tidaklah aku melihat Rasulullah shalat kecuali
beliau berta’awudz (memohon perlindungan) dari azab kubur’.” (HR.
Al-Bukhari no. 1373)
Doa yang dipanjatkan Rasulullah disebutkan sebagaimana dalam hadits dari Abu Hurairah:
كَانَ رَسُولُ اللهِ يَدْعُو: اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ
عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا
وَالْمَمَاتِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Rasulullah berdoa: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu
dari azab (siksa) kubur, dari siksa neraka, dari fitnah kehidupan dan
kematian, dan dari fitnah Al-Masih Ad-Dajjal’.” (HR. Al-Bukhari no.
1377)
Selain dalil-dalil di atas, masih banyak hadits lainnya yang mengungkapkan tentang siksa dan nikmat kubur.
Menurut Al-Imam An-Nawawi, madzhab Ahlus Sunnah wal Jamaah menetapkan
masalah azab kubur. Hal itu sungguh telah secara nyata berdasar
dalil-dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah berfirman:
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Al-Mu’min: 46)
Juga, telah secara nyata hadits-hadits yang shahih dari Nabi, dari
riwayat jamaah dari kalangan para sahabat di berbagai tempat. Akal tak
akan mampu menolak bahwa Allah (memiliki kemampuan) mengembalikan
kehidupan masing-masing bagian jasad (manusia) dan mengazabnya. Jika
akal tak mampu menolak hal ini, dan apa yang telah disebutkan secara
syar’i, maka wajib untuk menerima dan meyakininya. Al-Imam Muslim
telah menyebutkan (dalam Shahih-nya) hadits yang banyak sekali dalam
masalah penetapan adanya siksa kubur. Di antaranya hadits yang
mengungkapkan bahwa Nabi mampu mendengar suara orang yang disiksa dalam
kuburnya, mayit bisa mendengar bunyi sandal yang menguburkannya, Nabi
berbicara kepada ahlul qalib (korban dari pihak musyrikin yang
dilemparkan ke dalam sumur-sumur di Badr, red.), pertanyaan dua malaikat, dan lain-lain. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 17/198)
Abul Fida’ Ismail bin Katsir dalam Tafsir-nya (4/98) menyebutkan bahwa firman Allah:
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang.” (Al-Mu’min: 46)
Merupakan ayat yang dijadikan prinsip yang besar dalam pengambilan sisi
pendalilan bagi kalangan Ahlus Sunnah atas masalah azab (siksa) di alam
barzakh (alam kubur).
Inilah permasalahan fitnah kubur. Wajib bagi
seorang yang beriman untuk meyakininya, karena hal itu telah ada
ketetapannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Beriman dan segeralah
beramal nan shalih, sebelum petaka kubur itu menerpa.
Wallahu a’lam.
Oleh: Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin
Sumber:
www.beritani.com