02 Juli 2011

Kisah Tauladan Khalid Al Misky

Kisah Tauladan Khalid Al Misky

Khalid Al Misky adalah seorang pemuda yang tampan, rajin beribadah, wara', ikhlas, rajin bekerja, dan amanah. Dia seorang pedagang keliling kampung yang membawa barang dagangannya di atas kepala.

Salah seorang wanita cantik tertarik pada Khalid Al-Miski yang tampan. Suatu hari, wanita ini memanggil Khalid dengan maksud akan membeli barang dagangannya. Ia telah merancang tipu-dayanya, lalu Khalid diminta agar masuk ke dalam rumahnya dengan alasan ia akan membeli dagangannya. Ternyata ia segera mengunci pintu-pintu rumahnya, kemudian berkata, "Kamu akan celaka, jika tidak mau melayani aku! Sebab aku akan mempermalukanmu di depan umum sehingga mereka menuduhmu ingin memperkosaku."

Khalid berusaha mengalihkan pembicaraan, tetapi tanpa membuahkan hasil. Lalu Khalid memperingatkannya dengan janji dan ancaman Allah. Akan tetapi, setan telah menguasai wanita cantik tersebut dan membutakan mata hatinya.

Ketika Khalid yakin bahwasanya ia tidak bisa menyelamatkan diri dari ancaman wanita tersebut, maka ia tampakkan dirinya menyetujui permintaannya dan meminta izin untuk ber-benah diri di kamar mandi. Wanita itu bahagia dan setuju. Khalid masuk ke kamar mandi dan berpikir bagaimana caranya agar dapat terhindar dari godaan ini. Kemudian, Allah memberi petunjuk, sekalipun nanti tubuhnya akan kotor. Tidak masalah, asalkan ia dapat menghindarkan diri dari maksiat yang pasti mendatangkan murka Allah. Kemudian, Khalid melumuri wajah dan tubuhnya dengan tinja, dengan demikian tercium bau tidak enak, kelihatan jelek, dan menjijikkan.

Khalid keluar dari kamar mandi, begitu wanita tersebut melihat Khalid kotor dan menjijikkan, ia menghardik dan menyuruhnya keluar serta mengusir dari rumahnya. Pemuda tersebut lari dan meninggalkan rumah wanita untuk menyelamatkan diri dan agamanya.

Allah Ta'ala mengganti bau busuk dan menjijikkan itu dengan bau yang harum bagaikan minyak miski. Orang-orang pun dari kejauhan sudah mengetahui kedatangannya, sebelum mereka melihat Khalid, yaitu dengan mencium baunya yang harum. Sejak saat itu orang-orang memanggilnya dengan Khalid Al-Miski.

Inilah seorang Mukmin yang sebenarnya, yang meyakini bahwa Allah senantiasa mengawasi gerak-geriknya setiap saat sehingga sekalipun di hadapannya seorang wanita yang cantik dan gemulai, namun ia merasa takut kepada Allah. Tidak takut kepada manusia atau undang-undang karena semuanya tidak dapat melihat dan mengawasinya sepanjang waktu. Hanya Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihatlah yang senantiasa memantau gerakannya. Khalid takut dengan bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat, maka ia mencari alasan dengan melumuri kotoran pada tubuhnya, dan justru ini menunjukkan kebersihan batinnya dan ketulusan imannya. Kemudian, Allah menggantinya dengan bau harum semerbak di dunia dan baginya di akhirat pahala yang besar dan berlimpah.

Sekarang ini, di zaman kita hidup, berapa banyak manusia melumuri wajah dan tubuhnya dengan parfum dan wangi-wangian. Akan tetapi, bau busuk perbuatan mereka menjadikan mereka tercemar dan terbongkar keburukannya, walaupun mereka berusaha menutupi aibnya. Disebabkan mereka hanya takut kepada manusia, bukan kepada Allah. Balasan seseorang itu sesuai dengan jenis amalnya.

01 Juli 2011

Isra' Mi'raj

Peristiwa Isra' Mi'raj

Peristiwa yang terkandung dalam Isra’ Mi’raj adalah merupakan suatu ujian bagi Rasulullah Muhammad SAW, yaitu:

1. Ujian Keberanian
Keberanian untuk menerangkan kepada umatnya dan seluruh manusia bahwa dirinya (Muhammad) telah menghadap langsung dengan sang Haliq (Allah SWT), yang dimana Muhammad mendapat Perintah langsung tanpa melalui Malaikat Jibril.

2. Ujian Keimanan
Keimananuntuk Rasulullah SAW (khususnya) dan umatnya bahkan untuk seluruh manusia (umumnya), sehingga Allah akan memberikan pahala besar bila manusia mempercayai peristiwa tersebut. Dalam ujian keimanan ini Sayyidina Abu Bakar merupakan umat Rasulullah yang pertama kali membenarkan dan mempercayai peristiwa tersebut sehingga beliau mendapat gelar Assidiq, dan Abu Lahab merupakan orang yang pertama kali memurkai peristiwa itu sehingga Allah menurunkan wahyu-Nya (Al-Lahab) sebagai peringatan buat Abu Lahab dan pelajaran untuk umat manusia yang beriman.

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, Rasulullah sedang gundah gulana, sedih, dan sedikit depresi karena meninggalnya istri tercinta Siti Khadijah dan disusul dengan kepergian pamannya Abu Thalib sehingga Allah memberikan hiburan khusus kepada Rasulullah yaitu berkunjung ke Masjidil Kharam dan Masjidil Aqsha. Tersimak dari peristiwa diatas bahwa bila kita sedang gundah gulana, fikiran suntuk, stres, dsb maka datang dan berkunjunglah ke masjid untuk mendapatkan ketenangan dan hiburan (bagi orang yang beriman).

Rasulullah mendapat perintah ketika menghadap langsung dengan Allah SWT yaitu berupa sahalt 5 waktu (Shalat yang disempurnakan), dimana shalat merupakan salah satu rukun Islam (Rukun Islam yang ke 2) yang sangat penting karena shalat merupakan tiang dalam agama Islam. Secara logikanya: tangan kita mempunyai 5 jari (Rukun Islam) memegang gelas (disini gelas diibaratkan diri kita), bila jari kelingking (Haji) dilepas (tidak dilaksanakan) maka gelas tidak jatuh; bila jari manis (Zakat) dilepas (tidak dilaksanakan) maka gelas tidak jatuh; bila jari tengah (Puasa) dilepas (tidak dilaksanakan) maka gelas tidak jatuh; akan tetapi bila jari telunjuk (Shalat) dilepas (tidak dilaksanakan) maka gelas akan jatuh dan kemudian pecah (diri kita akan terjerumus dalam kekufuran). Astaghfirullah hal’adziim.

15 Februari 2011

Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabahi

Aspek-Aspek Yang Perlu Dimuhasabah


Terdapat beberapa aspek yang perlu dimuhasabahi oleh setiap muslim, agar ia menjadi orang yang pandai dan sukses.

1. Aspek Ibadah

Pertama kali yang harus dievaluasi setiap muslim adalah aspek ibadah. Karena ibadah merupakan tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi ini. [QS. Adz-Dzaariyaat (51): 56]

2. Aspek Pekerjaan & Perolehan Rizki

Aspek kedua ini sering kali dianggap remeh, atau bahkan ditinggalkan dan ditakpedulikan oleh kebanyakan kaum muslimin. Karena sebagian menganggap bahwa aspek ini adalah urusan duniawi yang tidak memberikan pengaruh pada aspek ukhrawinya. Sementara dalam sebuah hadits, Rasulullah saw. bersabda:

Dari Ibnu Mas’ud ra dari Nabi Muhammad saw. bahwa beliau bersabda, ‘Tidak akan bergerak tapak kaki ibnu Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara; umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya, kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, dan ilmunya sejauh mana pengamalannya.’ (HR. Turmudzi)

3. Aspek Kehidupan Sosial Keislaman

Aspek yang tidak kalah penting untuk dievaluasi adalah aspek kehidupan sosial, dalam artian hubungan muamalah, akhlak dan adab dengan sesama manusia. Karena kenyataannya aspek ini juga sangat penting, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw. dalam sebuah hadits:

Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw. bersabda, ‘Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut itu?’ Sahabat menjawab, ‘Orang yang bangkrut diantara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak memiliki perhiasan.’ Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun ia juga datang dengan membawa (dosa) menuduh, mencela, memakan harta orang lain, memukul (mengintimidasi) orang lain. Maka orang-orang tersebut diberikan pahala kebaikan-kebaikan dirinya. Hingga manakala pahala kebaikannya telah habis, sebelum tertunaikan kewajibannya, diambillah dosa-dosa mereka dan dicampakkan pada dirinya, lalu dia pun dicampakkan ke dalam api neraka. (HR. Muslim)

Melalaikan aspek ini, dapat menjadi orang yang muflis sebagaimana digambarkan Rasulullah saw. dalam hadits di atas. Datang ke akhirat dengan membawa pahala amal ibadah yang begitu banyak, namun bersamaan dengan itu, ia juga datang ke akhirat dengan membawa dosa yang terkait dengan interaksinya yang negatif terhadap orang lain; mencaci, mencela, menuduh, memfitnah, memakan harta tetangganya, mengintimidasi dsb. Sehingga pahala kebaikannya habis untuk menutupi keburukannya. Bahkan karena kebaikannya tidak cukup untuk menutupi keburukannya tersebut, maka dosa-dosa orang-orang yang dizaliminya tersebut dicampakkan pada dirinya. Hingga jadilah ia tidak memiliki apa-apa, selain hanya dosa dan dosa, akibat tidak memperhatikan aspek ini. Na’udzubillah min dzalik.

4. Aspek Dakwah

Aspek ini sesungguhnya sangat luas untuk dibicarakan. Karena menyangkut dakwah dalam segala aspek; sosial, politik, ekonomi, dan juga substansi dari da’wah itu sendiri mengajak orang pada kebersihan jiwa, akhlaqul karimah, memakmurkan masjid, menyempurnakan ibadah, mengklimakskan kepasrahan abadi pada ilahi, banyak istighfar dan taubat dsb.

Tetapi yang cukup urgens dan sangat substansial pada evaluasi aspek dakwah ini yang perlu dievaluasi adalah, sudah sejauh mana pihak lain baik dalam skala fardi maupun jama’i, merasakan manisnya dan manfaat dari dakwah yang telah sekian lama dilakukan? Jangan sampai sebuah ‘jamaah’ dakwah kehilangan pekerjaannya yang sangat substansial, yaitu dakwah itu sendiri.

Evaluasi pada bidang dakwah ini jika dijabarkan, juga akan menjadi lebih luas. Seperti evaluasi dakwah dalam bidang tarbiyah dan kaderisasi, evaluasi dakwah dalam bidang dakwah ‘ammah, evaluasi dakwah dalam bidang siyasi, evaluasi dakwah dalam bidang iqtishadi, dsb?
Pada intinya, dakwah harus dievaluasi, agar harakah dakwah tidak hanya menjadi simbol yang substansinya telah beralih pada sektor lain yang jauh dari nilai-nilai dakwah itu sendiri. Mudah – mudahan ayat ini menjadi bahan evaluasi bagi dakwah yang sama-sama kita lakukan: Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”. [QS. Yusuf (12): 108]

14 Februari 2011

Urgensi Muhasabah

Urgensi Muhasabah


Imam Turmudzi setelah meriwayatkan hadits di atas, juga meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga ungkapan Maimun bin Mihran mengenai urgensi dari muhasabah.

1. Mengenai muhasabah, Umar r.a. mengemukakan:

‘Hisablah (evaluasilah) diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk hari aradh akbar (yaumul hisab). Dan bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang menghisab (evaluasi) dirinya di dunia.

Sebagai sahabat yang dikenal ‘kritis’ dan visioner, Umar memahami benar urgensi dari evaluasi ini. Pada kalimat terakhir pada ungkapan di atas, Umar mengatakan bahwa orang yang biasa mengevaluasi dirinya akan meringankan hisabnya di yaumul akhir kelak. Umar paham bahwa setiap insan akan dihisab, maka iapun memerintahkan agar kita menghisab diri kita sebelum mendapatkan hisab dari Allah swt.

2. Sementara Maimun bin Mihran r.a. mengatakan:

‘Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan pakaiannya’.

Maimun bin Mihran merupakan seorang tabiin yang cukup masyhur. Beliau wafat pada tahun 117 H. Beliaupun sangat memahami urgensi muhasabah, sehingga beliau mengaitkan muhasabah dengan ketakwaan. Seseorang tidak dikatakan bertakwa, hingga menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri. Karena beliau melihat salah satu ciri orang yang bertakwa adalah orang yang senantiasa mengevaluasi amal-amalnya. Dan orang yang bertakwa, pastilah memiliki visi, yaitu untuk mendapatkan ridha Ilahi.

3. Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada hari akhir akan datang menghadap Allah swt. dengan kondisi sendiri-sendiri untuk mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Allah swt. menjelaskan dalam Al-Qur’an: “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” [QS. Maryam (19): 95, Al-Anbiya’ (21): 1].

06 Januari 2011

Hikmah Ketabahan

Hikmah Ketabahan

Sesudah diusir dari Surga lantaran membangkangnya, Iblis memohon kepada Tuhan, “Wahai, Yang Mahatau. Engkau telah melaknat diriku, dan kini aku terlunta-lunta dalam dosa. Kau gebah aku menjadi setan yang terlontar dan tercela, sedangkan Adam Kau angkat sebagai khalifah Engkau di Bumi. Bukan itu saja, Kau utus pulapara Rasul Engkau dengan membawa kitab suci masing-masing, untuk membimbing dan menyelamatkan anak cucunya dari rayuanku. Kini aku bertanya, siapakah utusanku?”

Tuhan menjawab, “Utusanmu adalah tukang sihir.”
“Manakah Kitabku?”
“Kitabmu adalah dongeng yang memuja berhala.”
“Bagaimana hadisku?”
“Hadismu itu pantun-pantun cengeng dan mantra-mantra.”
“Siapa tukang azanku?”
“Tukang azanmu bunyi-bunyian yang merangsang.”
“Dimana Masjidku?”
“Masjidmu di pasar yang sibuk sehingga gampang menipu.”
“Dimana Rumahku?”
“Di kamar mandi yang bercampur antara laki-laki dan perempuan.”
“Apakah makananku?”
“Yang disantap manusia tanpa bismillah, itulah makananmu.”
“Apa minumanku?”
“Segala jenis yang memabukkan.”
“Dengan apa perangkapku?”
“Perempuan cantik yang gelisah.”

Maka ketika kita menutup kitab Al-Arais susunan Syekh Abi Ishak itu, kitapun tercenung memikirkannya. Andaikan benar yang dikatakan Nabi SAW. Dalam hadis Ahad tadi – tentu saja kalau sahih, kemungkinan besar benar – alangkah lengkapnya sarana Iblis untuk menantang keimanan manusia. Apakah dengan demikian berarti Tuhan suka mengadu domba manusia dengan setan, mengadu domba kebenaran dengan kebatilan, pahala dengan dosa, dan ketaatan dengan maksiat?

Kalau kita berpijak dari yang tertulis, mau tidak mau kita jawab “Ya.” Sama dengan tatkala seorang murid bertanya kepada gurunya, “Tuhan itu tunggal, sendiri. Mengapa Ia ciptakan alam, manusia, dan mahluk lainnya? Bukankah karena itu Ia harus repot mengadili manusia, disamping sibuk mengirimkan para utusan-Nya untuk memberi petunjuk kepada yang sesat? Coba Tuhan tetap sendiri tanpa ciptaan-Nya, bukankah Ia tenang dan tentram?”

Sang guru menjawab, “Karena yang kautanyakan mengapa Tuhan berbuat begitu, mampukah aku menjawabnya, padahal aku bukan Tuhan? Dan lantaran aku bukan Tuhan, lebih baik aku berpikir tentang ciptaan-Nya bukan Penciptaannya.

Sudah pasti si murid tidak puas. Akan tetapi, bilakah manusia pernah mencapai titik puasnya? Mustahil. Sebab kita didukung oleh keserbaterbatasan. Maka deri itu seorang sufi, Ahmad Al-Barkawi, pernah mengatakan, “Kebenaran itu tidak bertengger diam dipuncak bukit, yang bisa didaki dan dimiliki secara pasti. Kebenaran justru terletak dalam pencarian.” Namun, karena manusia terlalu fana untuk sampai pada ujung pencariannya, maka Al-Barkawi menyatakan, “Akhirnya kebenaran itu berada dalam iman sebab kebenaran yang mutlak hanya ditangan Allah SWT.”

Misalnya perbedaan paham antara Imam Syafii dan Iman Hanafi mengenai persentuhan kulit dengan wanita, apakah membatalkan wudhu atau tidak. Menurut Imam Syafii, batal. Menurut Imam Hanafi, tidak. Padahal dalil yang dijadikan sandaran sama, padahal kata lamastumu dalam surah An-Nisa ayat 43. Sedangkan wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Jika batal wudhunya, batal pula shalatnya. Dari Tuhan, ayat itu benar mutlak. Pada manusia, muncullah dua “kebenaran” yang berlawanan. Di situlah manusia harus memilih, kemana hendak berkiblat. Dan di situ pula pentingnya “percaya”.