Menyanggah Buku
"Ternyata Akhirat Tidak Kekal"
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam yang menjanjikan
kebahagiaan di surga bagi orang-orang yang bertakwa dan kesengsaraan di
neraka bagi orang-orang yang kufur lagi durhaka. Shalawat dan salam
kepada Nabi akhir zaman, sebagai penutup para Nabi dan panutan dalam
meniti jalan yang lurus, begitu pula kepada keluarga dan para
sahabatnya.
Allah Ta’ala berfirman,
فَأَمَّا
الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ (106)
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ
رَبُّكَ إِنَّ رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ (107) وَأَمَّا الَّذِينَ
سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ
وَالْأَرْضُ مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ
رَبُّكَ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ (108)
“Adapun orang-orang yang celaka, maka (tempatnya)
di dalam neraka, di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik nafas
(dengan merintih), mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,
kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang
berbahagia, maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya
selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang
lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya.” (QS. Huud: 106-108)
Jika kita melihat ayat di atas, seakan-akan ada yang ganjil. Allah
mengisyaratkan surga dan neraka itu ada selama bumi dan langit itu ada.
Dari sini bisa diyakini bahwa surga dan neraka itu tidak kekal. Ayat
inilah yang menjadi dasar keyakinan Ir. Agus Mustofa (Penulis Buku
Tasawuf Modern) dalam bukunya “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”[1]. Berikut kami cuplik sedikit perkataan beliau dalam buku tersebut setelah beliau membawakan surat Huud ayat 106-108:
“Ayat di atas bercerita tentang keadaan
penduduk neraka dan penduduk surga. Dikatakan oleh Allah, bahwa mereka
itu akan kekal di dalam surga atau neraka selama ada langit dan bumi.
Informasi ini, sungguh sangat
menggelitik logika kita. Kenapa demikian? Sebab ternyata kekekalan surga
dan neraka itu –menurut ayat ini- tergantung pada kondisi lainnya,
yaitu keberadaan langit dan bumi alias alam semesta.
Dengan kata lain, akhirat itu akan
kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal. Sehingga,
kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka alam
akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran.
Tentu, hal ini membuat kita agak shock. Sebab
ini telah menggoyang apa yang sudah kita pahami selama ini. Bahwa yang
namanya akhirat itu adalah alam baka. Alam yang kekal abadi, dan tidak
akan pernah mengalami kiamat lagi. Dan itu telah dikatakan
berulang-ulang dalam Al Qur’an.
Akan tetapi, apakah kita tidak percaya
kepada firman Allah di atas, bahwa Surga dan Neraka itu kekalnya adalah
sekekal langit dan bumi? Tentu saja, kita juga nggak berani untuk tidak percaya, sebab kalimat-kalimat di atas demikian gamblangnya: Khaalidiina fiiha maadaamatis samaawaati wal ardhi ... (kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi ...) ” (hal. 234)
Demikian sedikit nukilan dari perkataan beliau, yang kesimpulannya
sesuai judul bukunya yaitu akhirat itu tidaklah kekal. Kami sangat
tergelitik sekali ingin menyanggah pernyataan beliau di atas dengan
merujuk pada pakar tafsir terkemuka. Yang tentunya ilmu ulama tafsir
sudah pasti lebih terpercaya. Semoga Allah memudahkan untuk
menyelesaikan tulisan ini karena ingin mengharapkan wajah-Nya yang
mulia.
3 Hal yang Mesti Diyakini Mengenai Surga dan Neraka
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al Hafizh Al Hakami rahimahullah, keyakinan terhadap surga dan neraka yang mesti diyakini adalah 3 hal. Beliau sebut dalam bait syairnya,
والنَّارُ وَالجَنَّةُ حَقٌّ وَهُمَا ... مَوْجُوْدَتَانِ لاَ فَنَاءَ لَهُمَا
“Neraka dan surga adalah benar adanya. Keduanya telah ada saat ini. Dan keduanya tidaklah fana.”
Berikut sedikit uraiannya.[2]
Di antara dalilnya,
وَاتَّقُوا
النَّارَ الَّتِي أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ (131) وَأَطِيعُوا اللَّهَ
وَالرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (132) وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ
مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ
لِلْمُتَّقِينَ (133)
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka,
yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan
Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 131-133)
Kedua: Surga dan neraka sudah ada saat ini.
Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
“Yang telah disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (QS. Ali Imron: 133)
Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,
أُعِدَّتْ لِلْكَافِرِينَ
“Yang telah disediakan untuk orang-orang kafir.” (QS. Ali Imron: 131). Jika dikatakan “telah disediakan”, berarti keduanya telah ada.
Dari Imron bin Hushain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اطَّلَعْتُ فِى
الْجَنَّةِ فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا الْفُقَرَاءَ ، وَاطَّلَعْتُ فِى
النَّارِ ، فَرَأَيْتُ أَكْثَرَ أَهْلِهَا النِّسَاءَ
“Aku pernah melihat surga, lalu aku melihat bahwa kebanyakan
penghuninya adalah orang-orang miskin. Aku pun pernah melihat neraka,
lalu aku melihat kebanyakan penghuninya adalah para wanita.”[3]
Dari Ibnu ‘Abbas, Rofi’ bin Khudaij, ‘Aisyah dan Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ ، فَأَبْرِدُوهَا بِالْمَاءِ
“Sakit demam berasal dari panasnya jahannam. Oleh karenanya, dinginkanlah demam tersebut dengan air.”[4]
Ketiga: Surga
dan neraka itu kekal karena Allah yang menghendaki keduanya untuk kekal.
Keduanya tidaklah fana. Banyak sekali dalil yang membicarakan hal ini,
berikut kami sebutkan sebagiannya.
Tentang surga, Allah Ta’ala berfirman,
خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)
Tentang neraka, Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا وَظَلَمُوا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ لِيَغْفِرَ لَهُمْ
وَلَا لِيَهْدِيَهُمْ طَرِيقًا ,إِلَّا طَرِيقَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ
فِيهَا أَبَدًا
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman,
Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula)
akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. An Nisa’: 168-169)
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ
أَهْلُ الْجَنَّةِ الْجَنَّةَ ، وَ أَهْلُ النَّارِ النَّارَ ، ثُمَّ
يَقُومُ مُؤَذِّنٌ بَيْنَهُمْ يَا أَهْلَ النَّارِ لاَ مَوْتَ ، وَيَا
أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ ، خُلُودٌ
“Jika penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka
telah memasuki neraka, kemudian seseorang akan meneriaki di antara
mereka, “Wahai penduduk neraka, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Wahai penduduk surga, tidak ada lagi kematian untuk kalian. Kalian akan kekal di dalamnya.”[5]
Awal Sanggahan dari Mustofa Bisri
Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” sebenarnya sudah
dikritisi lebih terlebih dulu oleh A. Mustofa Bisri. Berikut pemaparan
beliau ketika memberikan pengantar untuk buku tersebut.
“Yang paling menarik tentu kesimpulan
Agus Mustofa tentang ketidak-kekalan Akhirat, yang karenanya kemudian
menjuduli bukunya dengan “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” ini. Kesimpulannya
itu antara lain didasarkan pada Q.S. 11 Hud: 107 dan 108, di mana
-menurut pemahaman Agus- kekekalan mereka yang berbahagia di sorga
maupun celaka di neraka digantungkan “kepada kondisi lainnya, yaitu
keberadaan langit dan bumi alias alam semesta”.
Dengan kata lain, paparnya, “Akhirat
itu akan kekal jika langit dan bumi atau alam semesta ini juga kekal.
Sehingga kalau suatu ketika alam semesta ini mengalami kehancuran, maka
alam akhirat juga bakal mengalami hal yang sama, kehancuran” (hal. 234).
Pendapat ini diperkuat dengan kutipan Q.S. 28: Al Qashash: 88,
كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
“Tiap-tiap sesuatu itu pasti binasa kecuali ‘Wajah-Nya’”
Kesimpulan dan pendapat itu terjadi
karena Agus Mustofa tidak mempertimbangkan atau mengabaikan
tafsir-tafsir yang ada, khususnya mengenai kalimat:
مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
Misalnya, tafsiran Ahli Tafsir yang
menyatakan bahwa yang dimaksud “langit dan bumi” adalah langit dan bumi
yang lain, berdasarkan QS. 14: 48
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” ... [6]
Demikian sebagian komentar dari Bapak Mustofa Bisri yang mengkritik
pendapat kontroversial dari Agus Mustofa. Intinya, pendapat yang
diutarakan oleh Agus Mustofa berseberangan dengan pendapat ahli tafsir
dan para ulama yang tentu lebih memahami ayat tersebut. Mari kita simak
penjelasan selanjutnya.
Merujuk Tafsiran Ulama
Pertama: Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Gholib Al Amili (Abu Ja’far Ath Thobari)
Mengenai ayat,
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
هذا دائم دوام السموات والأرض
Kedua: Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurosyi Ad Dimasyqi
Selain membawakan perkataan Ibnu Jarir Ath Thobari, Ibnu Katsir membawakan penafsiran lain. Beliau rahimahullah mengatakan, “Boleh jadi dipahami bahwa maksud ayat “selama langit dan bumi itu ada”
adalah jenis langit dan bumi (maksudnya: langit dan bumi yang beda
dengan saat ini, pen). Karena sudah pasti alam akhirat juga ada langit
dan bumi (namun berbeda dengan saat ini, pen). Buktinya adalah firman
Allah Ta’ala,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
Oleh karena itu, Al Hasan Al Bashri menjelaskan mengenai firman Allah,
خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ
“Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi”,
maksudnya adalah Allah mengganti langit berbeda dengan langit yang ada
saat ini. Begitu pula Allah mengganti bumi berbeda dengan bumi yang ada
saat ini. Langit dan bumi (yang berbeda dengan saat ini tadi, pen) pun
akan terus ada.”
Ibnu Abi Hatim mengatakan bahwa Sufyan bin Husain menyebutkan dari Al
Hakam, dari Mujahid, dari Ibnu ‘Abbas, beliau mengatakan mengenai
firman Allah (yang artinya), “Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,” yaitu setiap surga itu memiliki langit dan bumi.
‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam menafsirkan, “Yaitu selama bumi itu
menjadi bumi (yang berbeda dengan saat ini, pen) dan langit menjadi
langit (yang berbeda dengan saat ini, pen).” –Demikian penjelasan Ibnu
Katsir rahimahullah mengenai surat Huud ayat 107.[8]
Ketiga: Abu Muhammad Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi
Al Baghowi menyatakan yang hampir sama dengan Ibnu Jarir Ath Thobari
dan Ibnu Katsir. Al Baghowi mengatakan, “Mengenai ayat (yang artinya), “Mereka kekal di dalamnya” yaitu terus berada tinggal di dalamnya. Sedangkan ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada”,
sebagaimana dikatakan oleh Adh Dhohak, “Selama langit dan bumi dari
surga dan neraka itu ada. Karena segala sesuatu yang berada di atasmu
dan menaungimu itulah langit. Sedangkan segala sesuatu sebagai tempat
engkau berpijak itulah bumi. Begitu pula para pakar tafsir menjelaskan
bahwa ungkapan dalam ayat tersebut dimaksudkan untuk menunjukkan
kekalnya sesuatu. Inilah ungkapan yang biasa disebutkan oleh orang Arab.
Mereka biasa mengatakan, “Saya tidak akan mendatangimu selama langit
dan bumi itu ada”. Atau mereka katakan, “... selama bergantinya malam
dan siang”. Mereka maksudkan ini semua untuk mengungkapkan “selamanya”.”[9]
Keempat: Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad Asy Syaukani
Tentang ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi itu ada,” Asy
Syaukani menukil perkataan Ibnu ‘Abbas yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi
Hatim, beliau mengatakan maksud ayat tadi, “Setiap surga memiliki langit
dan bumi tersendiri.”[10]
Kelima: Mahmud bin ‘Amr bin Ahmad Az Zamakhsyari
Az Zamakhsyari menyatakan penafsiran yang sama dengan Ibnu Jarir dan
Ibnu Katsir. Jadi, makna ayat (yang artinya), “Selama langit dan bumi
itu ada”, maksudnya: [1] Yang dimaksud adalah langit dan bumi di
akhirat, keduanya itu abadi dan makhluk yang kekal, [2] ungkapan orang
Arab yang ingin menyatakan sesuai itu kekal dan tidak ada ujung
akhirnya.
Untuk maksud pertama ini, beliau membawakan dua ayat bahwa di akhirat itu ada langit dan bumi tersendiri. Ayat pertama, Allah Ta’ala berfirman,
يَوْمَ تُبَدَّلُ الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ
Ayat kedua, Allah Ta’ala berfirman,
وَأَوْرَثَنَا الأرض نَتَبَوَّأُ مِنَ الجنة حَيْثُ نَشَاء
“Dan telah (memberi) kepada kami bumi (tempat) ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam surga di mana saja yang kami kehendaki.” (QS. Az Zumar: 74)[11]
Keenam: Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengungkapkan, “Sekelompok ulama
menjelaskan mengenai firman Allah (yang artinya), “Selama langit dan
bumi itu ada”, yaitu yang dimaksud adalah langit dari surga dan bumi
dari surga. Sebagaimana disebutkan dalam Shahihain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika
kalian ingin meminta pada Allah, mintalah surga Firdaus. Firdaus adalah
surga yang paling tinggi dan merupakan surga pilihan. Sedangkan atap (langit) dari surga tersebut adalah ‘Arsy Allah”. Begitu pula sebagian ulama ketika menjelaskan mengenai firman Allah,
وَلَقَدْ كَتَبْنَا فِي الزَّبُورِ مِنْ بَعْدِ الذِّكْرِ أَنَّ الْأَرْضَ يَرِثُهَا عِبَادِيَ الصَّالِحُونَ
“Dan sungguh telah Kami tulis di dalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh.”
(QS. Al Anbiya’: 105). Yang dimaksudkan di sini adalah bumi di surga.
Oleh karena itu tidak bertentangan antara yang menyatakan langit akan
terlipat (yaitu langit dunia, pen). Sedangkan langit yang tetap terus
ada adalah langit (atap) dari surga. Oleh karena itu, yang mesti kita
pahami adalah segala sesuatu yang berada di atas, maka ia disebut secara
bahasa dengan langit (as samaa’). Sebagaimana pula hujan disebut dengan samaa’ (langit). Dan atap juga disebut dengan samaa’ (langit).”[12]
Ringkasnya, mengenai surat Huud ayat 107 dan 108, ada dua penafsiran:
Pertama: Yang dimaksud adalah langit dan bumi yang ada di akhirat nanti.
Kedua: Penyebutan “selama langit dan bumi itu ada” adalah ungkapan orang Arab yang ingin menyebutkan sesuatu itu kekal abadi.
Bandingkan tafsiran di atas ini dengan pemahamann penulis buku tersebut.
Kekeliruan Penulis Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”
Dari penjelasan ulama di atas, terlihat jelas bahwa surat Huud ayat
16-108 bukan memaksudkan akhirat itu tidak kekal sebagaimana yang
disalahpahami oleh Agus Mustofa. Sudah jelaslah kekeliruan yang beliau
utarakan dalam buku tersebut. Intinya, kekeliruan yang beliau lakukan
disebabkan beberapa hal:
Pertama: Hanya bergantung pada logika yang dangkal
Setelah beranjak dari pemahaman keliru terhadap surat Huud ayat 107
dan 108, beliau pun mengemukakan argumen sains. Namun ini sudah beranjak
dari pemikiran keliru terhadap ayat tadi dan dibangun di atas logika
yang fasid (rusak). Yang namanya logika jika bertentangan
dengan dalil, maka dalil yang mesti didahulukan karena logika tentu saja
terbatas. Coba pahami baik-baik perkataan seorang alim, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah berikut ini.
“Bahkan akal adalah syarat untuk mengilmui sesuatu dan untuk
beramal dengan baik dan sempurna. Akal pun akan menyempurnakan ilmu dan
amal. Akan tetapi, akal tidaklah bisa berdiri sendiri.
Akal bisa berfungsi jika dia memiliki instink dan kekuatan sebagaimana
penglihatan mata bisa berfungsi jika ada cahaya. Apabila akal mendapati
cahaya iman dan Al Qur’an barulah akal akan seperti mata yang
mendapatkan cahaya mentari. Jika bersendirian tanpa cahaya, akal tidak
akan bisa melihat atau mengetahui sesuatu.”[13]
Intinya, logika bisa berjalan dan berfungsi jika ditunjuki oleh dalil
syar’i yaitu dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Tanpa cahaya ini, akal
tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Sedangkan tentang surga dan
neraka, betapa banyak ayat yang menunjukkan kekalnya. Pantaskah di sini
akal mengalahkan dalil Al Qur’an dan As Sunnah? Logika barulah benar
jika memang tidak berseberangan dengan wahyu.
Kedua: Tidak mau merujuk pada ulama
Inilah salah satu kekeliruannya lagi. Jarang sekali kami lihat dalam
buku beliau yang menukil perkataan ulama atau mau merujuk pada mereka
dalam menafsirkan ayat. Beliau kadang menafsirkannya sendiri sehingga
bisa salah fatal semacam ini.
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Umar bin 'Abdul 'Aziz,
مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ
”Barangsiapa beribadah pada Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang ditimbulkan lebih besar daripada perbaikan yang dilakukan.”[14]
Kita punya kewajiban jika tidak tahu tentang masalah agama termasuk pula dalam memahami ayat untuk bertanya pada orang berilmu. Allah Ta’ala berfirman,
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. An Nahl: 43 dan Al Anbiya’: 7).
Ingatlah, obat dari kebodohan adalah dengan bertanya pada ahli ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
شِفَاءُ الْعِىِّ السُّؤَالُ
“Obat dari kebodohan adalah dengan bertanya.”[15] Ketika membawakan hadits ini, Ibnu Qayyim Al Jauziyah mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut kebodohan dengan penyakit dan obatnya adalah dengan bertanya pada para ulama (yang berilmu).”[16]
Ketiga: Mengikut ayat mutasyabih (yang masih samar)
Sebelum menyebutkan pendapatnya pada halaman 234, sebenarnya Ir. Agus
Mustofa sudah memaparkan ayat-ayat yang menunjukkan kekalnya surga dan
neraka. Bahkan beliau sendiri katakan di hal. 232 dari bukunya, “Dan
masih banyak lagi ayat tentang kekekalan Surga, Neraka, atau Akhirat
itu. Tak kurang dari 110 ayat yang menggambarkan, betapa akhirat, surga dan neraka itu kekal.”
Namun ketika sampai pada hal. 234, setelah membawakan surat Huud ayat
106-108, beliau pun mengatakan, “Justru di sinilah kunci pemahamannya.
Pertama, bahwa akhirat tersebut sesungguhnya memang tidak kekal. Akan tetapi, ketidakkekalan itu bukan berarti meringankan arti dari informasi-informasi sebelumnya yang mengatakan: Khaalidiina fiiha ... (kekal di dalamnya ...). Dan
di ayat lainnya lagi seringkali ditambahkan kata ‘abada’ (abadi,
selama-lamanya). Miliaran tahun! Karena kekal yang dimaksudkan tersebut
memang bukan kekal yang tidak terbatas. Akhirat adalah makhluk. Karena
itu ia pasti memiliki awal dan akhir.” Demikian perkataan beliau.
Semula ia katakan bahwa 110 ayat membicarakan kekekalan akhirat,
namun ketika bertemu dengan surat Huud ayat 106-108, baru ia menjadi
bingung. Lalu akhirnya ia simpulkan bahwa akhirat itu tidak kekal.
Bagaimana mungkin hanya berpegang pada surat Huud lalu mengalahkan 110
ayat yang menyatakan kekekalan surga dan neraka?!
Thoriqoh (metode) orang-orang yang menyimpang memang seperti ini.
Kebiasaannya adalah selalu mempertentangkan ayat yang satu dan lainnya.
Atau kebiasaannya adalah berpegang pada ayat yang masih samar (baca:
mutasyabih) dan meninggalkan ayat-ayat yang sudah jelas yaitu ayat
muhkam. Seharusnya sikap yang tepat ketika seseorang menemukan ayat-ayat
yang samar dan sulit baginya untuk memahaminya adalah ia pahami dan membawa ayat tersebut kepada ayat muhkam (yang sudah jelas maknanya). Bukan malah yang jadi pegangan adalah ayat mutasyabih yang masih samar.
Itulah yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala, ketika kita
menemukan ayat masih samar, bawalah ayat tersebut kepada ayat yang sudah
jelas maknanya agar kita tidak tersesat. Allah Ta’ala berfirman,
هُوَ الَّذِي
أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آَيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ
الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ
زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ
وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ
وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آَمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ
رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui
ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali Imron: 7). Ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya) dalam ayat ini disebut dengan ummul kitaab (induk kitab).
Artinya, ayat-ayat muhkam inilah yang jadikan rujukan ketika bertemu
dengan ayat-ayat yang masih samar bagi sebagian orang (mutasyabihaat).[17] Namun kecenderungan orang-orang yang sesat adalah biasa mengikuti ayat mutasyabih (yang masih samar).
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Adapun orang-orang
yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, yaitu keluar dari kebenaran
menuju pada kebatilan, maka mereka mengikuti ayat yang masih mutasyabih
(masih samar). Mereka mengambil ayat mutasyabih tersebut yang mampu
mereka selewengkan sesuai maksud mereka yang keliru dan dijadikan
sebagai pembela mereka karena makna yang masih bisa diselewengkan sesuka
mereka. Adapun ayat-ayat yang muhkam (yang sudah jelas maknanya),
seperti itu tidak dijadikan rujukan mereka. Mereka tidak mau berpegang
pada ayat yang muhkam karena itu bisa menyangkal dan menjatuhkan
pendapat mereka sendiri. ”[18]
Penutup
Inilah beberapa kekeliruan dasar penulis Agus Mustofa. Ditambah lagi
pemahaman beliau yang berbau tasawuf dan filsafat, hal ini semakin
menambah kelamnya buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal”.
Kami hanya mengingatkan, waspadalah terhadap buku-buku dan pemahaman beliau sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasehati
kita agar waspada dengan orang-orang yang hanya mau berpegang pada ayat
mutasyabih (yang masih samar) dan meninggalkan jauh-jauh ayat muhkam
(yang sudah jelas maknanya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membaca surat Ali Imron ayat 7 di atas, lalu ‘Aisyah mengatakan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا رَأَيْتُمُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِينَ سَمَّى اللَّهُ فَاحْذَرُوهُمْ
“Jika kalian melihat orang-orang yang sering mengikuti ayat-ayat
yang mutasyabih (yang masih samar), maka merekalah yang Allah sebut
(dalam surat Ali Imron ayat 7). Oleh karenanya, Waspadalah terhadap mereka.”[19]
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah pada penulis buku tersebut.
Semoga kaum muslimin yang lain dapat terhindar dari
kekeliruan-kekeliruannya. Hanya Allah yang memberi taufik.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel: http://rumaysho.com
Daftar Pustaka
[1] Buku yang ditulis oleh Agus Mustofa amatlah banyak, semuanya bertajuk tasawuf modern. Buku “Ternyata Akhirat Tidak Kekal” ini telah sampai pada cetakan kesepuluh dan diterbitkan oleh PADMA Press.
[2] Kami sarikan dari Ma’arijul Qobul, Syaikh Hafizh bin Ahmad Al Hakami, 2/222-229, Darul Hadits, cetakan tahun 1420 H.
[3] HR. Bukhari no. 5198 dan Muslim no. 2737.
[4] HR. Bukhari dan Muslim.
[5] HR. Bukhari no. 6544 dan Muslim no. 2850.
[6] Lihat Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Agus Mustofa, hal. xi-xii, PADMA press, cetakan kesepuluh, tahun 2006.
[7] Tafsir Ath Thobari (Jaami’ Al Bayan ‘an Ta’wilil Ayil Qur’an), Ibnu Jarir Ath Thobari, 12/578, Dar Hijr.
[8] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, 7/472, Muassasah Qurthubah.
[9] Ma’alimut Tanzil, Al Baghowi, 4/200, Dar Thoyibah, cetakan keempat, tahun 1417 H.
[10] Fathul Qodir, Asy Syaukani, 3/486, Mawqi’ At Tafaasir.
[11] Al Kasysyaf, Az Zamakhsyari, 3/124, Mawqi’ At Tafaasir.
[12] Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 15/109, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
[13] Majmu’ Al Fatawa, 3/338-339.
[14] Lihat Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu 'anil Munkar, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 15, Mawqi' Al Islam.
[15] HR. Abu Daud no. 336, Ibnu Majah no. 572 dan Ahmad (1/330). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohih Al Jaami’ no. 4363.
[16] Ighotsatul Lahfaan min Mashoidisy Syaithon, Ibnu Qoyyim Al Jauziyah, 1/19, Darul Ma’rifah, cetakan kedua, tahun 1395 H
[17] Faedah dari penjelasan Ibnu Katsir ketika menjelaskan surat Ali Imron ayat 7. Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/7.
[18] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/9.
[19] HR. Muslim no. 2665.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar